Sabtu, 23 Oktober 2010

Pekong dan masjid saksi bisu toleransi beragama di Indonesia



oleh Tony Kusmiran
22 Oktober 2010

Pontianak, Indonesia – Dalam bulan-bulan terakhir ini, toleransi beragama di Indonesia kembali ternodai oleh sejumlah peristiwa kekerasan. Sekelompok Muslim ekstremis menyerang kelompok agama minoritas dan komunitas Kristen—termasuk memaksa menutup gereja dan merusak bangunan ibadah lainnya.

Merespon hal tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hanya menekankan pentingnya toleransi beragama dengan mengajak semua pihak untuk mengamalkan “prinsip hidup rukun dalam masyarakat yang plural”, lepas dari banyaknya desakan agar presiden mengambil tindakan hukum yang tegas kepada para ekstremis yang menyerang kelompok agama atau etnis minoritas di negara ini.

Indonesia sebenarnya adalah bangsa yang toleran, cinta kerukunan dan perdamaian—sebagaimana dicita-citakan para pendiri bangsa ini. Secara umum, Indonesia cukup berhasil mencapai cita-cita ini, meski suku bangsa dan agama di negara ini amat beragam dan masih ada kekerasan serta politisasi agama.

Malah, ada sejumlah contoh di mana kelompok agama yang berbeda yang bisa hidup berdampingan satu sama lain, seperti misalnya hubungan antara komunitas Kristen Dayak, Muslim, dan penduduk Tionghoa di Sanggau. Ini bisa menjadi contoh bagi masyarakat di daerah lain di Indonesia.

Sanggau, adalah kota kecil di bagian timur provinsi Kalimantan Barat. Di sinilah partai politik lokal bernama Partai Dayak pernah berdiri pada masa presiden Soekarno. Partai ini berhasil menyatukan orang Dayak, kelompok etnis terbesar di pulau Kalimantan, yang juga dikenal dengan nama Borneo.

Mayoritas penduduk Sanggau adalah orang Dayak penganut kristiani, baik Katolik maupun Protestan. Muslim menjadi minoritas dan lebih banyak hidup di wilayah kota. Dari segi komposisi etnis, Sanggau juga sangat beragam. Suku Dayak adalah suku mayoritas, sementara suku Melayu dan suku-suku lainnya adalah minoritas. Selain dua suku ini, ada juga penduduk dari etnis Tionghoa, Minang, Bugis, Jawa, Madura, Sunda, dan kelompok minoritas lainnya. Dalam keragaman ini, penduduk Sanggau hidup rukun dan damai.
Me to
Di Sanggau, orang Tionghoa—baik yang beragama Katolik, Protestan, maupun Konghucu, adalah pelaku utama ekonomi. Banyak dari mereka yang memiliki kios di pasar Sanggau, dan di kompleks pasar itu pula mereka membangun Pekong Tri Dharma, rumah ibadah Konghucu yang dikelola oleh Yayasan Sentosa Sanggau. Sebuah kuil yang megah dengan dekorasi dua patung penjaga yang mengenakan pakaian perang Cina kuno, yang secara simbolis dimaksudkan untuk menjaga keberadaan Pekong tersebut dari ancaman dan bahaya lainnya.

Yang sangat unik adalah adanya sebuah bangunan Masjid yang yang berdiri tegak tepat disamping bangunan Pekong tersebut. Kendati begitu, jamaah kedua tempat ibadah itu tidak pernah bergesekan atau saling ganggu.

Menurut Ahon, 60 tahun, salah seorang sesepuh pedagang Tionghoa di pasar itu, kuil tersebut sudah berdiri lama bahkan sebelum masjid tersebut berdiri sekitar tahun 1970-an. “Kita tidak pernah saling mengganggu satu sama lain disini walaupun terlihat janggal sebuah masjid kok berdiri di dekat sebuah Klenteng rumah ibadah orang Tionghoa,” tuturnya.

Kedua umat berlainan agama itupun tidak saling mengusik. Bahkan, selama bulan Ramadhan, banyak kedai dan rumah makan Cina di dekat masjid itu tetap buka seperti biasa, dan mereka tidak mendapat ancaman seperti yang banyak terjadi di daerah lain di Indonesia. Bahkan ada rumah makan dengan menu daging babi, yang jaraknya hanya sekitar 20 meter saja dari masjid.

Apa yang kita lihat di pasar kota kecil Sanggau itu adalah contoh positif toleransi beragama yang didambakan oleh semangat pendirian Indonesia.

Meski banyak penduduk Sanggau yang mungkin tak tahu-menahu ada pidato Presiden AS Barack Obama di Mesir yang berusaha mendamaikan perselisihan antara Amerika dengan dunia Muslim, apa yang mereka praktikkan sungguh merupakan refleksi dari ucapan Obama: “Selama hubungan kita mengakui perbedaan yang ada, kita bisa memberdayakan mereka yang [lebih suka] menanam kebencian daripada perdamaian, mereka yang mendorong konflik daripada kerjasama, dan inilah yang membantu semua orang meraih keadilan dan kemakmuran.”

Orang-orang Sanggau menyadari bahwa hidup berdampingan dengan damai jauh lebih baik daripada berkonflik. Semoga kedamaian di kota kecil itu tak akan dihancurkan oleh mereka yang tak melihat nilai-nilai luhurnya.

###

* Tony Kusmiran adalah wartawan majalah bulanan Kalimantan Review, dan saat ini tengah mengembangkan program media berbasis masyarakat di Sanggau. Artikel ini ditulis untuk Kantor Berita Common Ground.

Sumber: Kantor Berita Common Ground (CGNews), 22 Oktober 2010, www.commongroundnews.org
Telah memperoleh izin publikasi.

Rabu, 15 Juli 2009

Kabar Indonesia

KabarIndonesia

Rabu, 29 Oktober 2008

Miri


I

ni saya selagi di Miri beberapa bulan yang lalu. Kunjungan ini adalah kunjungan perdana aku di Sarawak. Mungkin suatu masa aku akan kembali kesana untuk menikmati suasana dan pemandangan alam Sarawak bahkan kalau bisa ke Sabah dan Brunei. Saat ini sudah ada trip langsung dengan angkutan darat Bus Damri ke Brunei dan sebaliknya Bus Brunei Darusalam ke Pontianak melalui Sarawak.

Diatu aku nganjung gambar maya aku di Miri. Teperindang aku ngagai menua kita din laban manah amai mega di peda aku. Gayu Guru Gerai Nyamai, Congratulations.

Minggu, 04 November 2007

Ladang

Seperti biasa, masyarakat Dayak di Kalimantan umumnya selalu membuka ladang tiap tahun walaupun kini tidaklah segencar dulu. ladang bagi orang Dayak merupakan nafas hidup mereka sebab dari sanalah kehidupan dapat bertahan sehingga tidak heran ketika gawai, jenis-jenis tanaman padi atau padi itu sendiri menjadi sangat istimewa. Kedudukan padi bagi orang Dayak merupakan kedudukan tertinggi sehingga semangat padi harus dipanggil setiap tahunnya dengan upacara adat Dayak.
Padi bagi orang Dayak memiliki semangat (roh) yang tidak bisa digantikan dengan jenis makanan lain. Padi atau beras juga erat kaitannya dengan upacara adat orang Dayak di seluruh Kalimantan. sadar atau tidak generasi Dayak merupakan bagian seutuhnya dalam hal ini. Upacara adat Dayak selalu berkaitan dengan padi, beras, babi, pulut (ketan), telur ayam kampung, dan sebagainya. Hal itu dibuat bukannya tanpa alasan. Alasan kuat bahwa orang dayak jauh sebelum adanya agama telah memiliki tuhan yang mereka percayai berkuasa atas segalanya termasuk kehidupan mereka. Itulah sebabnya orang Dayak sangat patuh dengan adat karena didalam adat itulah nafas mereka. Segala kekuatan pun didapat dari sana. Adat yang bersih, sikap yang jujur dan polos akan sangat mudah berhubungan dengan alam halusinasi dan alam ke-tuhanan. Dari sana berkat dan kebaikan dicurahkan kepada orang Dayak.
Ladang merupakan sistem sirkulasi pertanian setiap tahun yang juga menjadi ciri atau identitas masyarakat Dayak pada umumnya. Sekalipun saat ini ladang dianggap sebagai ancama oleh banyak pihak hal itu tidak akan menyurtkan sikap tegas masyarakat dayak untuk tetap berladang sepanjang masih memiliki lahan pertanian. Sistem pertanian kering atau sering disebut dengan istilah berladang yang selama ini diterapkan orang Dayak secara turun temurun selalu menjadi perbincangan banyak orang diluar Dayak karena dianggap merusak hutan, merusak lingkungan dan sebagainya. Hal ini pun tidak ketinggalan dihembuskan oleh pemerintah, perusahaan dan berbagai suku diluar Dayak yang mungkin saja tidak senang dengan keberadaan orang Dayak yang berladang secara tradisional. Rasanya memang aneh ketika orang di luar Dayak mengatur-atur keberadaan dan sikap orang dayak padahal mereka tinggal di tanah Kalimantan ini bisa diibaratkan numpang tetapi tidak sopan dengan mulutnya atau pun hatinya. Jelas sudah Tuhan telah memberikan tanah kepada setiap suku bangsa secara sendiri-sendiri. tanah jawa ya milik orang Jawa, Tanah sulawesi ya milik orang sulawesi maka Kalimantan milik orang dayak. Aneh jika Kalimantan jadi milik Jawa atau Sumatera atau Sulawesi dan lain-lain, jika ini yang terjadi itu namanya perampasan baik secara halus maupun kasar.
Jadi Ladang bagi orang Dayak merupakan suatu keharusan dan semestinya didukukung karena memang inilah satu-satunya sistem pertanian kering di Kalimantan yang bisa digarap. JAdi tidak perlu menyalahkan sistem perladangan orang Dayak, apalagi orang yang menyalahkan tersebut melihatnya dari sudut pandang sistem pertanian di tempatnya berada misalnya di Jawa. Tidak akan bisa sistem pertanian di Jawa diterapkan di Kalimantan sebab beberapa persyaratannya jelas berbeda. Tony Kusmiran

Jumat, 02 November 2007

Gawai Dayak

Selamat Hari Gawai 2007
Kalimantan Barat yang sebagian besar penduduknya Dayak hampir seluruhnya pada antara bulan April-Juni melaksanakan Gawai di tempatnya masing-masing sebagai tanda ucapan syukur keapada Penompa, Petara, Jubata atas panen padi yang mereka terima sebagai sebuah siklus perladangan tahunan yang merupakan bagian adat istiadat dan budaya bangsa atau kaum Dayak di Kalbar.

Ada beberapa kelompok besar Dayak di Kalbar yakni Dayak Bidayuh, Dayak Iban, Dayak Kanayatn-Mempawah dan Dayak Orang Hulu yang terdiri dari kaum suku Kayaan, Taman dan Punan.

Pada hari Gawai setiap keluarga akan membuat berbagai penganan dari ketan dan beras. Hasil tangan mereka itu jadilah minuman tuak atau beram, Tuak dibuat dari beras ketan yang diragikan dan menjadi minuman khas kaum Bangsa Dayak di Kalbar. Ada juga penganan lain seperti kue-kue dari beras ketan. Sesuatu yang tidak akan tinggal adalah makan besarnya. Biasanya setiap keluarga akan memotong hewan peliharaan mereka atau membeli dari orang lain untuk dijadikan menu makan di hari Gawai.

Hari Gawai menjadi sangat istimewa jika setiap rumah kedatangan anggota keluarga, sahabat, tetangga dan kerabat dari berbagai daerah. Suasana Gawai menjadi sangat meriah ketika dimeriahkan dengan berbagai acara baik acara adat maupun hiburan.

Bagi kaum Bangsa Bidayuh, Gawai merupakan hari yang sangat istimewa. Hari Gawai merupakan hari istimewa milik masyarakat Dayak khususnya kaum Bidayuh di Kalbar. Gawai bukan sekedar pesta hura-hura tetapi justru mengandung unsur pelestarian budaya yang kian hari kian luntur.

Gawai juga biasanya dihubungkan dengan penanggalan Dayak yang diidentikkan sebagai tahun baru padi atau "the new year of padi". Selain itu Gawai juga adalah sebuah acara pesta besar masyarakat Dayak di Kalbar sehingga tidak heran saat ini Gawai menjadi acara primadona masyarakat Dayak di Kalbar karena mengandung unsur revitalisasi budaya yang selama masa pemerintahan orde baru tidak tampil sama sekali ke permukaan.

Dalam acara Gawai di daerah dan di kampung-kampung khususnya di kampung kaum Bidayuh biasanya kita dijamu atau diterima dengan ramah dan sopan. Dalam gawai itu kita disuguhkan minuman khas yakni tuak ditambah dengan beberapa penganan dari ketan seperti kue-kue dan yang paling istimewa biasanya kita dipersilahkan untuk makan dengan menu utama daging babi, ayam kampung atau lainnya dengan masakkan khas Dayak. Selain itu juga ada masakan modern dan sayur asli kampung seperti umbut, rebung, pakis dan sebagainya. Ada juga penganan asli yang tidak ketinggalan yakni beras pulut atau ketan yang dimasak dalam bambu diberi santan garam yang dinamakan pelomak oleh masyarakat Bidoih Sanggau.

Setiap tahun Gawai selalu diadakan antara bulan April hingga Juni. Bagi siapa saja yang ingin melihat langsung boleh datang dan bertandang ke beberapa kampung tersebut khususnya di wilayah Kabupaten Sanggau yang sangat istimewa sebab hidangan makan dan penganan tersebut dihidangkan secara gratis alias tanpa dibayar. Tony Kusmiran

Perkenalanku



Namaku Tony Kusmiran. Tidak ada maksud apa-apa dengan kata Kusmiran dibelakangnya dan bahkan tidak ada hubungannya sama sekali dengan Arie Koesmiran yang penyanyi itu. Mungkin dulu orang tua ku senang ketika melihat Arie Koesmiran menyanyi di TVRI jaman tahun 1973-1985an maklum kalau suka kemudian nama itu pun di catut menjadi nama ku saat ini, kalau bisa protes ya..tentu aku sudah protes dan menggantikannya dengan nama lain yang lebih enak didengar, gak niru-niru gitu lho.
Ya sudahlah, apalah arti sebuah nama jika tidak dapat berbuat. Berbuat lebih penting dari pada sekedar nama.
Oh ya, mumpung belum lupa, aku mau menginformasikan saja bahwa aku ini bekerja sebagai jurnalis di sebuah media pemberdayaan masyarakat adat Dayak di Kalimantan Barat. AKu senang bekerja menulis tentang mereka, adat-istiadatnya serta kebudayaannya.
Aku juga sadar bahwa darah ku juga Dayak sehingga rasanya menjadi kurang sreg jika aku tidak bertanggung jawab untuk mengangkat dan memperkenalkan serta mendokumentasikan para Dayak di tanah ku sendiri.
Semoga nanti aku dapat berbuat lebih banyak lagi. Tony Kusmiran

Selasa, 30 Oktober 2007

Bidayuh-Bidoih


Bidayuh
Bidayuh adalah sebuah nama bagi sekelompok masyarakat Dayak yang tinggal di pedalaman Kalimantan Barat. Para ahli dan peneliti linguistik maupun antropolog sering menyebutnya dengan istilah land Dayak atau orang Dayak daratan atau pedalaman, hal itu dikarenakan kelompok sub Dayak ini banyak memilih tinggal di pedalaman yang jauh dari pantai laut dari pada di tepian pantai. Selain itu mereka juga banyak mendiami wilayah perbukitan dan gunung-gunung di Kalimantan Barat. Untuk mengakses mereka bisa dilalui melalui jalan sungai atau darat.
Kelompok Dayak dari sub Bidayuh ini banyak terdapat di Kabupaten Sanggau, sebagian Kabupaten Bengkayang, Landak, Sekadau dan sebagian kecil di Kabupaten Ketapang. Keberadaan mereka sebagai masyarakat pedalaman telah membawa banyak dampak bagi pembangunan di Kalimantan Barat. Walaupun mereka belum terdata dengan pasti dari jumlah populasi tetapi yang pasti Bidayuh di Kalbar cukup mampu membawa perubahan pembangunan dengan baik.
Bidayuh merupakan bagian dari masyarakat Dayak yang mempunyai bahasa dengan ciri dan khas Bidayuh atau Bidoih. Kekhasan bahasa mereka digolongkan oleh para ahli dan peneliti bahasa sebagai bagian dari kelompok bahasa dari grup Bidayuhic. Bidayuh merupakan bagian kecil dari 405 sub Dayak yang ada di Kalimantan yang juga oleh Dr. H.J. Malin seorang kontroleur digolongkan kedalam bagian Dayak Klemantan. Menurutnya ada 6 stammenras dari 405 sub suku Dayak di Kalimantan yang 147 nya ada di Kalimantan Barat. Stammenras tersebut diantaranya adalah (1) Kenyah-Kayaan-Bahau, (2) Ot Danum atau Uud Danum, (3) Iban, (4) Murut, (5) Klemantan dan (6) Punan.
Bidayuh atau Bideyeh atau Bidoih merupakan bagian dari stammenras Klemantan dengan bahasa yang khas. Walaupun Bidayuh merupakan stammenras Klemantan, ia sendiri mempunyai banyak bagian yang dinamakan sebagai sub suku Bidayuh. Sub suku dari Bidayuh ini sendiri mempunyai banyak bahasa yang berbeda intonasi, kata, dan gaya bahasanya. Walaupun berbeda ia masih dapat dilihat sebagai bagian dari Bidayuh dari kosa kata dan aksen-aksen bahasa nya sehingga siapa saja dapat membedakannya dengan memahami bahasanya bahwa ia berasal dari Bidayuh yang mana.
Bidayuh sendiri bukan saja terdapat di Kalimantan Barat, ia juga dapat dijumpai di Sarawak Malaysia Timur. Mereka dapat dengan mudah dijumpai disepanjang perbatasan antara Kalimantan Barat-Indonesia dengan Sarawak-Malaysia. Kedua Bidayuh tersebut tidak ada yang berbeda karena kedua-duanya adalah sama Bidayuh hanya dipisahkan oleh garis administrative politis antar negara saja. Bidayuh di Sarawak populasi dan keberadaannya jauh lebih berkembang jika dibandingkan dengan Bidayuh di Kalimantan Barat. Hal itu tidak terlepas dari peran pemerintah Malaysia dalam memberikan akses kemudahan bagi masyarakatnya termasuk Bidayuh. Walaupun begitu tidak sedikit pula masyarakat Bidayuh Sarawak menjadi korban politik negaranya sendiri misalnya dalam bidang investasi perkebunan yang dilakukan dibawah naungan pemerintah Negara Malaysia. Secara politis Bidayuh Kalimantan Barat jauh lebih berpeluang maju dan berkembang karena iklim demokrasi sudah terbuka dengan lebar dan mudah tinggal bagaimana Bidayuh Kalbar mengembangkan dirinya sendiri agar mencapai tujuan dan cita-cita kejayaan nya dikemudian hari.
Perkataan Bidayuh sendiri sebenarnya merupakan sebuah susunan huruf yang ditulis oleh para penulis masa itu menurut pendengarannya sehingga dihasilkanlah tulisan berbentuk “BIDAYUH”. Dalam budaya Bidayuh tulisan tidak dikenal sehingga tidak ada satu kode pun yang dapat mewakili “perkataan Bidayuh”. Hal itu telah menyulitkan banyak pihak untuk memahami apa dan bagaimana sebenarnya tulisan yang benar sebab sebagian kelompok Bidayuh yang lainnya mempunyai bentuk tulisan lain yang mewakili kata “Bidayuh” tersebut misalkan dengan tulisan kata “ Bideyeh, Bidayah, Bidoih atau Obi Doih”. Walaupun begitu apapun yang disebutkan oleh masyarakat mewakili konsonan dan vocal dari lambang bunyi tersebut, para penulis terdahulu telah menuliskan kata Bidayuh menjadi kata penunjuk bagi masyarakat dengan rumpun bahasa Bidayuhic atau dari stammenras Klemantan tersebut atau yang sering ditulis sebagai land Dayak dalam berbagai literature.
Sampai saat ini pengertian Bidayuh, Bideyeh maupun Bidoih masih belum berubah. Pengertian dasar dari arti kata Bidayuh dapat dibagi dalam dua suku kata yakni Bi = orang dan dayuh = darat atau pedalaman. Jadi pengertian umum Bidayuh adalah orang yang mendiami wilayah daratan atau pedalaman dari pulau borneo. Beberapa kata juga ada yang memiliki kemiripan tulisan maupun bunyi nya diantaranya kata doih dan daih. Doih berarti darat atau pedalaman sedangkan daih memiliki arti besar. Dalam konteks ini pengertian daih bukanlah prioritas untuk dibahas sebab maknanya agak melebar dari makna sesungguhnya. Doih atau Dayuh ataupun Deyeh dipilih sebagai arti kata yang mewakili arti darat atau pedalaman bukanlah pengertian yang diada-adakan tetapi memang arti dari makna kata tersebut memang mengandung arti darat atau pedalaman.
Referensi tentang Bidayuh justeru lebih banyak ditemukan di Sarawak Malaysia dari pada di Indonesia, mengapa? Hal itu tentu dikarenakan oleh keinginan berbagai pihak termasuk kaum Bidayuh sendiri untuk mencatat dan menyimpan arsip adapt budaya mereka sendiri kedalam berbagai bentuk arsip misalkan dalam bentuk gambar photo, rekaman video, tulisan-tulisan ilmiah maupun berupa artikel biasa. Hal ini lah yang menjadikan Bidayuh di Sarawak kaya akan literature tentang diri mereka sementara Bidayuh di Kalimantan Barat sendiri sangat minim literature tentang Bidayuh.
Minimnya literature Bidayuh Kalimantan Barat dapat dimaklumi karena memang belum banyak orang yang berminat menulis dan mengarsipkan data-data tentang Bidayuh di Kalbar termasuk belum terlihat minat dari orang Bidayuh sendiri mengangkat tentang siapa diri mereka kedalam berbagai bentuk dokumentasi.
Banyak orang mampu dari kalangan Bidayuh di Kalbar tetapi tidak satutpun yang rela berkorban untuk membantu mendokumentasikan data-data mengenai keberadaan Bidayuh di Kalbar khususnya di wilayah Kabupaten Sanggau dan 4 kabupaten lainnya itu. Jika ada sedikit kepedulian saja maka litertur tentang Bidayuh akan dapat terwujud sebagai sebuah karya ilmiah bagi seluruh masyarakat bukan hanya bagi orang Bidayuh saja melainkan juga bagi seluruh masyarakat dunia. Adanya literature akan mempermudah generasi Bidayuh kedepan untuk meraih gelar sarjana dalam penulisan skripsi maupun tesisnya tentang Bidayuh sehingga tidak sia-sia data-data tentang Bidayuh dikumpulkan dan dikemas dalam berbagai format arsip.
Kata Bidayuh maupun Bidoih serta Bideyeh sama sekali bukan sebuah persoalan, yang jelas bahwa penulisan kata Bidayuh sudah mewakili apa yang dimaknai sebagai masyarakat kaum Bideyeh dan Bidoih. Sebutan tersebut didasari oleh oral sub suku tersebut dalam menyebutkan bunyi bahasa yang dihasilkan dari lidah dan mulut serta bibir terhadap sebuah atau suatu kata. Jadi hal tersebut sama sekali tidak berpengaruh terhadap penggunaan kata Bidayuh sebagai wakil lambang bunyi bahasa dari masing-masing sub etnik dari rumpun Bidayuh itu sendiri karena perkataan Bidayuh juga diterima sebagai wakil dari sebutan untuk Bidoih dan Bideyeh.
Bidayuh maupun Bidoih juga menerima kenyataan bahwa diri mereka juga masuk sebagai bagian dari kelompok masyarakat non muslim yang tinggal di pedalaman yang kemudian oleh para penulis Belanda disebut sebagai Dayak, karena menurut definisinya bahwa semua masyarakat pedalaman di Kalimantan yang tidak beragama Islam dan masih memegang teguh adat istiadat aslinya dapat digolongkan kedalam sebuah grup bernama Dayak yang dulu ditulis sebagai Daya, Dyak atau pun Dayaker. Hal tersebut dapat dibuktikan bahwa bahasa-bahasa suku Dayak sangat berbeda satu sama lain sehingga Dayak tidak lagi cocok disebut sebagai suku melainkan Bangsa.
Dalam catatannya, Tjilik Riwut lebih senang menuliskan kata suku bangsa Daya dari pada hanya sekadar suku Dayak saja. Mungkin karena ia telah melihat bahwa Dayak terdiri dari suku dan bahasa yang beragam layaknya sebuah bangsa dalam sebuah Negara. Agaknya tidaklah berlebihan bahwa kenyataannya memang demikian bahwa Dayak sulit disatukan prinsipnya kecuali dalam hal perang. Dalam hal ekonomi Dayak baru mulai bangkit dan bersatu tetapi sebelumnya tidak. Dalam hal politik masih belum nampak dimana persatuan dan kesatuannya karena masing-masing orang lebih senang mencari kekayaan untuk dirinya sendiri melalui jalur politik dan pemerintahan sehingga tidak jelas komitmen pembangunannya terhadap masyarakat Dayak. Dayak sendiri kini sangat populer karena keberaniannya menggunakan kata “Dayak” yang berarti bodoh, miskin, tertindas dan jorok seperti binatang. Anggapan tersebut mereka coba bantah dengan menampilkan siapa Dayak yang sesungguhnya. Memang diakui bahwa jaman dahulu siapa saja baik Dayak, Melayu, Cina, Batak, Jawa dan suku-suku lainnya di Indonesia sama-sama jorok, miskin dan bodoh, sekali lagi itu adalah jaman dahulu. Jaman terus berubah dan berkembang, Dayak dahulu dengan sekarang tentu berbeda, apakah masih relevan menggunakan istilah Dayak itu bodoh, miskin, jorok dan tertindas? Jawabannya ada dihati kita semua.
Bidayuh bagian dari Dayak yang digolongkan kedalam ras Klemantan merupakan Dayak pedalaman yang banyak mendiami perbukitan, pegunungan dan sungai-sungai kecil diantaranya botang Sekayam atau Sungai Sekayam dan sungai-sungai kecil lainnya. Mereka hidup berladang dan berkebun karet secara tradisional. Kini ada banyak perusahaan perkebunan kelapa sawit yang masuk ke wilayah mereka dengan menjanjikan kesejahteraan namun kenyataannya berbeda. Kesejahteraan yang dijanjikan ternyata berbuah kesengsaraan. Dari sana Bidayuh harus melihat dirinya bahwa ia tidak akan bias hidup terus dengan caranya yang lama melainkan harus merubah diri secepat mungkin agar dapat sesuai dan mampu sejajar dengan suku-suku lain di Indonesia. Kaum Bidayuh harus sekolah dan maju serta menguasai berbagai bidang baik ekonomi, politik, social budaya, dunia pendidikan dan sektor-sektor lainnya. Jika tidak ingin Bidayuh hancur dan dikuasai orang lain maka satu-satunya cara saat ini adalah Bidayuh harus mau merubah diri dalam waktu secepat-cepatnya dan menguasai berbagai sumber daya yang telah ada maupun yang belum terlihat. Kita memang tidak mampu membuat Negara tetapi kita harus membuat perubahan.

Bidayuh-Bidoih Kodatn
Bidayuh Kodatn atau sering juga disebut dengan istilah Bidoih Kodatn atau Pangkodatn merupakan bagian terkecil dari Bidayuh secara keseluruhan. Bidayuh Kodatn sendiri lebih sering disebut sebagai Bidoih bukan Bidayuh. Kata Bidoih lebih sering dipakai ketimbang kata Bidayuh walaupun keduanya mempunya makna yang sama yakni orang pedalaman atau daratan.
Bidoih Kodatn memang mempunyai dialeg bahasa yang berbeda dengan orang-orang Bidayuh pada umumnya oleh karena mereka berawal dari satu rumpun maka unsure kata dalam bahasa mereka hampir 90% sama. Kalaupun ada perbedaan hal itu terdapat dalam dialeg, aksen dan beberapa kosa kata, namun secara jelas bahwa Orang Bidoih Kodatn termasuk kedalam rumpun Bidayuh dan dapat digolongkan dalam kelompok bahasa Bidayuhik.
Dalam buku Van Hulten ditulis bahwa orang-orang Bidayuh termasuk orang Bidoih Kodatn merupakan sub kecil dari sebuah kelompok besar Dayak yang dibagi dalam 6 stammenras, Bidayuh sendiri masuk dalam kelompok Dayak Klemantan.
Bidoih Kodatn sendiri berasal dari sebuah tembawang tua yang bernama Temawakng Daih dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai Temawakng Besar. Temawakng sendiri dimaksudkan adalah sebuah tempat tinggal sekelompok masyarakat Bidoih pada jaman itu yang sudah tidak dihuni lagi dimana didalamnya terdapat warisan seperti tanah, kebun buah-buahan dan segala isi didalamnya yang telah berubah rimbun kembali menjadi mirip hutan.
Biasanya dalam sebuah tembawang terdapat berbagai jenis pohon buah-buahan seperti durian, tengkawang, pohon karet dan berbagai jenis pohon buah-buahan didalamnya termasuk tanah dimana tumbuh-tumbuhan tersebut hidup. Sebelum menjadi sebuah tembawang, wilayah tersebut dulunya diladangi untuk ditanami padi. Setelah padi selesai dipanen maka tanah itupun ditinggalkan. Sebelum ditinggalkan pemiliknya, tanah itu terlebih dahulu ditanami berbagai jenis tumbuh-tumbuhan seperti yang disebutkan diatas. Setelah ditanami, wilayah itupun ditinggalkan sekian puluh tahun lamanya tanpa dirawat sampai pohon-pohon tersebut tumbuh dan besar serta rimbun. Tempat itulah kemudian yang disebut sebagai tembawang.
Sejarah kedatangan Bidoih Kodatn di Temawakng Daih tidak diceritakan atau tidak diketahui secara pasti, yang jelas menurut para nara sumber hasil wawancara bersama mereka bahwa Orang Kodatn atau Bidoih Kodatn sejak semula memang sudah berada di Temawakng Daih. Mereka hidup sebagai satu kesatuan masyarakat Bidoih dengan tatanan kehidupan demokrasi menurut caranya sendiri. Bidoih Kodatn sendiri banyak yang tidak mengetahu secara pasti darimana sebenarnya mereka berawal, namun menurut salah seorang sumber seperti yang ditutur ulang oleh Urbanus Didi seorang Putra Kodatn mengatakan bahwa ayahnya Pastor Sanding, OFM.Cap bernama Sangel pernah bercerita padanya semasa ia kecil bahwa orang Bidoih Kodatn ini berasal dari Mayao. Mengenai kebenarannya masih perlu dicari lebih dalam lagi sebagai kaijan bersama apakah memang benar pecahan terkecil Bidoih Mayao kemudian menjadi apa yang sekarang disebut sebagai Bidoh Kodatn? Jika ditinjau dari segi bahasa, memang banyak kesamaan dan kemiripan daripada perbedaan. Keduanya menggunakan bahasa Bidoih yang dikenal dengan nama “bekidoh”. Kenapa disebut bekidoh? Sampai kini juga masih belum jelas apakah karena kata itu lebih simpel untuk menunjukkan identitas bahasa suatu sub suku di wilayah ini. Yang jelas, kata bekidoh lebih dikenal banyak orang dari pada istilah lainnya sehingga sampai saat ini bekidoh juga digunakan untuk menunjukkan sebuah identitas sub suku Dayak yang ada di wilayah Kabupaten Sanggau.
Soal asal usul Bidoih Kodatn dari Mayao bias saja benar sebab bahasa keduanya adalah bekidoh sehinga ada kaitan dari sisi bahasa sekalipun ada dialeg yang berbeda. Dalam sub Bidoih, dialeg dapat menunjukkan asal darimana orang tersebut berasal atau orang apakah dia. Jadi untuk mengenal mereka akan sangat gampang yakni dapat dikenal melalui dialeg bahasanya ketika ia berbicara. Sampai kini pun bagi orang Bidoih banyaknya bahasa Bidoih ini tercipta oleh apa masih menjadi misteri dan pertanyaan besar mengapa bias demikian.
Jika merujuk kembali kepada sejarah Tamputn Juah mungkin akan dapat ditemui jawabannya secara ilmiah walaupun ada cukup banyak sub suku Bidayuh/Bidoih yang mengatakan bahwa terjadinya berlainan bahasa Dayak disebabkan oleh keracunan jamur hutan ketika lari dari Tamputn Juah tanah leluhur orang Bidayuh dan Iban. Ada juga versi lain karena memakan burung elang raksaksa yang mati menabrak sebagian ujung Bukit Tiong Kandang di Batang Tarang sehingga menyebabkan sebagian ujung bukit itu pecah dan membentuk seperti apa yang dilihat saat ini. Mungkin semuanya benar untuk mencari pembenaran bahwa bahasa Dayak Bidayuh terpecah-pecah oleh karena sesuatu dan lain hal. Walaupun begitu semua ceritra tersebut tidaklah serta merta disalahkan karena mengandung unsur yang dianggap legenda atau tidak terdapat bukti-bukti kuat bahwa ceritra tersebut nyata adanya, namun mungkin secara ilmiah dapat dikatakan bahwa terjadinya bahasa-bahasa Bidayuh yang terpecah belah menjadi sub bahasa itu secara sengaja diciptakan dengan alasan tertentu.
Ketika itu di Tamputn Juah menurut versi Bidayuh dan Iban ada sebuah pertengkaran dan perkelahian hebat antara manusia dengan hantu penjaga wilayah Tamputn Juah. Dulu hidup keduanya harmonis, oleh karena adanya kecemaran di wilayah itu maka kelompok makhluk halus atau para hantu tersebut akhirnya berkelahi dengan manusia sehingga oleh kelompok hantu wilayah Tamputn Juah diberi wabah bau tahi atau bau kotoran manusia. Apa saja dimakan rasa dan baunya serupa dengan kotoran manusia termasuk nasi yang dimasak berbau kotoran manusia sehingga hal ini membuat manusia Bidayuh dan Iban tidak lagi sanggup tinggal disana. Karena tidak sanggup lagi, maka banyak penduduk di wilayah Tamputn Juah terpaksa melarikan diri dan berpencar jauh dari Tamputn Juah. Ada yang menuju wilayah Utara, Selatan, Timur dan Barat.
Sebelum melarikan diri, beberapa kelompok Bidayuh tersebut terpaksa mengubah bahasanya agar tidak dikenali para hantu bahwa semula mereka penduduk Tamputn Juah. Karena hukum antara manusia dan hantu saat itu sangat erat dan kuat maka para hantu tidak akan menyerang penduduk suku lain dari bahasa orang itu maka solusi untuk lari dari Tamputn Juah adalah mereka harus merubah bahasa, dialeg, aksen dan kosa katanya dengan maksud agar para hantu tidak menyerang mereka lagi ditempat yang baru. Alasan tersebut logis dan ilmiah, inilah yang memungkinkan terjadinya perpecahan bahasa selain dari teori terjadinya bahasa yang ada dalam ilmu linguistik
Sebelumnya di Tamputn Juah pasti hidup kelompok Bidayuh dengan bahasa Bidayuh yang sejenis termasuk kaum Iban dengan bahasa Ibannya yang sejenis. Para hantu sudah mengetahui hal itu sehingga atas nama hukum keduanya para hantu tidak berhak menyerang sembarangan penduduk kecuali dari sub bahasa tertentu. Hal inilah yang kemudian menjadikan bahasa-bahasa Bidayuh menjadi berbeda satu sama lainnya. Hal serupa pun dialami bangsa Iban dimana ada banyak dialeg Iban berbeda satu sama lainnya sehingga kelompok mereka dapat disebut sebagai kelompok rumpun Iban.
Bidoih Kodatn sendiri percaya bahwa mereka berasal dari Tamputn Juah. Hal itu pun sama seperti yang diungkapkan Bidoih lainnya. Mereka harus menelusuri Sungai Sekayam hinga menembus botakng Kapuas (Sungai Kapuas). Mereka akhirnya berhenti dalam persinggahannya dan mendirikan kampung. Mungkin dari sanalah Bidoih Kodatn memulai kisah keberadaan mereka di Temawakng Daih.
Banyak orang bertanya-tanya sebenarnya Temawakng Daih itu dimana? Sebagian orang termasuk generasi muda banyak yang tidak pernah tahun dimana sebenarnya tempat itu. Menurut kisah legenda dan bukti-bukti otentik serta menurut berbagai nara sumber bahwa Temawakng Daih Bidoih Kodatn atau Bi’Kodatn terletak di antara Kampung Prongakng atau yang kini dikenal dengan Rantau Perapat dengan koja dorik Empulor atau kaki bukit Empulor. Lokasi itu kini sudah menjadi hutan muda dan kebun karet serta ditumbuhi banyak bambu, durian dan pohon-pohon lainnya.
Secara Administratif, wilayah Temawakng Daih masuk dalam wilayah Kecamatan Parindu dan kampung Kodatn terakhir adalah Rantau Perapat karena ia serta satu-satunya yang masuk wilayah Kecamatan Parindu Kampung ini semula merupakan pelaman Bi’Nyanakng atau sub kampungnya orang Nyandang. Sebelum orang Nyandang tinggal disana, leluhur Bi’Kodatn sudah lebih dulu tinggal diwilayah tersebut. Rantau Perapat boleh juga dikatakan sebagai benteng orang Kodatn karena wilayahnya sangat dekat dengan Temawakng Daih dan pintu awal masuk wilayah Bidoih Kodatn.

Tony Kusmiran